
Reporter: Indira Ardanareswari
tirto.id – 24 Sep 2019 12:00 WIB
View non-AMP version at tirto.id

tirto.id – Sejarah pendudukan Jepang di Indonesia selalu identik dengan kekerasan militer, propaganda, serta luka dan stress berat pascaperang. Padahal, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ada problem-problem yang lebih kompleks dalam relasi dua negara tersebut.
Aiko Kurasawa, sejarawan asal Jepang yang giat meneliti perihal Indonesia, mengungkapkan dalam buku terbarunya, Sisi Gelap Perang Asia (2019), bahwa sebenarnya ada banyak sekali macam persoalan yang terjadi dalam kurun waktu 12 tahun setelah kemerdekaan (1945-1957).
Menurut Aiko, sebelum relasi diplomatik kedua negara terbentuk pada 1958, terdapat aspek kemanusiaan yang kerap luput dari perhatian sejarawan. Orang-orang dari kedua negara harus menanggung banyak sekali persoalan yang berkaitan dengan identitas, hubungan, dan status kewarganegaraan.
Melalui buku yang diangkat dari disertasi keduanya di Universitas Tokyo tahun 2011 itu, Aiko memberikan perspektif baru perihal apa yang disebut sebagai korban perang. Baginya, korban perang bukan hanya perihal orang-orang yang kehilangan nyawa atau mengalami penyitaan kekayaan, tetapi juga perihal orang-orang yang terlantar di kawasan yang tidak semestinya.
Dengan mengangkat tema perihal bunyi orang-orang kecil pasca-Perang Asia Pasifik, perempuan kelahiran Osaka 73 tahun silam ini berhasil mengurai kisah perihal orang-orang yang tidak mampu pulang ke tanah air yang akan terjadi tertahan oleh perang. Sebagian besar dari mereka ialah mahasiswa.
Ada pula kisah tentara Jepang yang memilih kabur dari kemiliteran, lalu menikah dengan perempuan Indonesia. Mereka pada akhirnya terpaksa menelan rasa pahit perpisahan saat kebijakan repatriasi orang-orang Jepang di Indonesia diberlakukan pada 1946.
Menyambung peluncuran buku Sisi Gelap Perang Asia di Puncak-media.com seminar PDDI LIPI pada Jumat (20/9/2019), penulis Tirto Indira Ardanareswari dan fotografer Andrey Gromico berkesempatan mewawancarai Aiko di kediamannya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ia berbicara dalam bahasa Indonesia yang sangat lancar dan fasih.
Berikut petikan wawancara dengan profesor emeritus Universitas Keio itu.
(ki-ka) Dosen Sastra Jepang UNHAS, Dr. Meta Sekar Puji Astuti, Peneliti Senior LIPI, Prof. Dr. Asvi Warman Adam, Moderator, Dr. M. Haripin, dan Ketua Dewan Pembina Komunitas Historia Indonesia (KHI), Dr. Rushdy Hoesein tengah membahas buku Sisi Gelap Perang Asia karya Aiko Kurasawa di Puncak-media.com seminar gedung PDDI LIPI lantai 2, Jalan Jend. Gatot Subroto No.10, Jakarta Selatan, Jumat (20/9/2019). tirto.id/Indira Ardanareswari
Literatur berbahasa Indonesia yang secara khusus membahas nasib orang-orang yang terlantar yang akan terjadi Perang Asia masih jarang ditemui. Buku yang diterbitkan dari disertasi kedua Anda ini menjadi satu-satunya. Bagaimana kita menempatkan dan memaknai fenomena ini ke dalam historiografi Indonesia periode Jepang dan setelahnya?
Ini memang missing period antara sejarah zaman pendudukan Jepang dan sesudah diadakan relasi diplomatik antara Indonesia-Jepang. Yang kontemporer cukup banyak ditulis, yang zaman Jepang juga cukup banyak ditulis, tapi periode antara 1945 dan 1957 boleh dikatakan kosong. Untuk menulis buku ini aku mencari bahan-bahan, tapi jarang ketemu. Kecuali sedikit-sedikit memoar yang ditulis oleh orang Jepang.
Jadi, sumber sejarah itu asalnya dari mana?
Poly dari arsip. Mirip File Nasional Republik Indonesia di Jalan Ampera Raya dan juga arsip di Den Haag, Belanda, mengenai bahan-bahan dari tahun 1945 sampai 1949 ketika Belanda masih menguasai Indonesia. Jadi Belanda juga masih mempunyai dokumen dari periode ini.
Tapi jika perihal masa sesudahnya, antara tahun 1950 dan 1957, aku ketemu di File Departemen Luar Negeri Jepang, sebab File Departemen Luar Negeri Indonesia itu belum dibuka untuk umum. Sayang sekali. Jika kita memiliki akses ke arsip Departemen Luar Negeri Indonesia pada zaman itu, mungkin kita mampu tambah informasinya. Mungkin ada bermacam berita yang baru.
Yang ada di File Nasional itu di antaranya arsip dari Sekretaris Negara dan Kabinet. Ada beberapa, tapi tidak semua dokumen pemerintah disimpan di File Nasional. Sayang sekali. Jika itu semua sudah diserahkan, sudah dibuka, mungkin kita mampu mengetahui sejarah baru.
Di Jepang arsip-arsip perihal hal ini terdokumentasikan dengan baik?
Iya, semenjak 30 tahun yang lalu sudah dibuka untuk umum. Tapi sebab sumber arsip masih sangat kurang, aku banyak bergantung pada sumber-sumber mulut. Aku mulai penelitian ini kira-kira awal 1990-an. Jadi, kira-kira hampir 30 tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, narasumbernya masih hidup. Tapi sekarang hampir semua sudah tidak ada. Kemarin aku cari-cari mereka, aku ingin undang untuk peluncuran buku yang kemarin. Aku cari dan kontak lagi tapi hampir semua meninggal. Anak-anaknya masih, jadi aku undang anak-anaknya.
Di salah satu bab buku Anda, ada kisah perihal orang-orang Indonesia yang belajar di Jepang dan mereka yang dikerahkan sebagai tenaga romusa ke wilayah-wilayah jajahan Jepang. Kelompok ini hampir tidak terdengar suaranya dalam historiografi populer di Indonesia. Mengapa demikian?
Nomor satu, suara-suara orang kecil itu tidak tercatat. Mungkin belum ada Norma orang kecil menulis catatan. Jika kita tidak mencari secara positif, sejarahnya hilang. Apalagi jika tenaga kerja romusa. Jika mahasiswa, sebab mereka intelektual, masih ada kemungkinan mereka membuat catatan. Tapi kebetulan para mahasiswa di Jepang ini tidak meninggalkan catatan.
Jadi, tetap mengandalkan sumber wawancara?
Iya, tetap wawancara dan mereka sangat terbuka.
Eksistensi mahasiswa di Jepang menjadi femonena yang tidak tercakup dalam sejarah. Selama ini historiografi populer lebih menyoroti pergulatan orang-orang Indonesia yang pergi belajar ke Belanda atas sponsor pemerintah kolonial. Lalu bagaimana caranya mahasiswa Indonesia ini mampu menemukan jalan pergi ke Jepang?
Itu istimewa. Yang memilih pergi ke Jepang untuk belajar rata-rata ialah mereka yang memiliki latar belakang politik. Rasa nasionalisme mereka tinggi, jadi ingin melawan Belanda dan ingin belajar dari Jepang atau ingin menerima bantuan dari Jepang untuk melawan Belanda. Kesamaan itu sangat kuat pada umumnya.
Meskipun anak-anak dan istrinya tidak ikut gerakan politik, paling tidak ayahnya aktif dalam gerakan politik. Para ayah ini ada yang mengirimkan anaknya ke Jepang. Ini sangat berbeda dengan mahasiswa yang dikirim ke Belanda.
Semua itu didorong kesadaran sendiri?
Ya, kesadaran yang agak keras. Mereka yang sudah selesai belajar di Jepang dan kembali ke Hindia Belanda sebelum pecah perang mengalami banyak kesulitan, sebab mereka dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda. Mereka dianggap sebagai anti-Belanda, mata-mata Jepang, dan sebagainya. Rata-rata nasib mereka kurang baik.
Pada waktu pecah perang, pada Desember 1941, hampir semua dari mereka ditangkap oleh Belanda. Belanda takut mereka akan dipakai oleh Jepang untuk melawan Belanda. Tetapi tidak lama kemudian, tentara Jepang sudah masuk ke Indonesia pada bulan Maret 1942.
Setelah itu mereka dibebaskan oleh tentara Jepang. Kebanyakan dari mereka akhirnya ikut membantu pemerintahan Jepang di Indonesia. Hanya saja jumlahnya masih sangat sedikit. Mereka yang sudah pulang ke Indonesia sebelum pecah perang itu mampu dihitung.
Berapa tepatnya jumlah mereka?
Sedikit. Mampu dihitung dengan jari. Kira-kira sepuluh orang. Ada beberapa dari mereka yang sudah kawin dengan perempuan Jepang dan membawa keluarganya kembali ke Indonesia.
Apakah selama belajar di Jepang mereka benar-benar menemukan jawaban atas nasionalisme yang dicari-cari?
Ini memang tergantung orangnya. Ada yang aktif melakukan relasi dan jaringan dengan nasionalis Jepang dan banyak yang dibantu oleh mereka. Kelompok-kelompok ultranasionalis Jepang atau Pan Asianism Jepang ingin membantu mahasiswa-mahasiwa Asia yang mencari bantuan untuk usaha kemerdekaan dan sebagainya. Ini bukan hanya orang Indonesia, tapi orang Vietnam, Filipina, India, macam-macam.
Umumnya mereka ini berkumpul di mana? Apa nama perkumpulannya?
Ada Perkumpulan Indonesia. Tempatnya tersebar. Tokyo paling banyak, Kyoto juga ada. Di beberapa kota besar.
Kegiatan mirip apa yang mereka lakukan di sana?
Diskusi dan belajar politik dari kaum nasionalis Jepang.
Pemerintah militer Jepang juga banyak memberangkatkan mahasiswa nantoku (acara beasiswa dari pemerintah Jepang untuk orang-orang Asia) selama periode pendudukan di Indonesia. Bagaimana awal mulanya acara ini dilaksanakan?
Itu sedikit berbeda, sebab mereka itu dikirim oleh pemerintahan militer Jepang. Nir tentu dengan inisiatifnya sendiri. Memang bukan paksa, tapi rata-rata ditunjuk oleh tentara Jepang dan dikirim. Sehingga tidak selalu ada motif politik. Mereka dipilih oleh tentara Jepang sebagai pemimpin Indonesia di masa depan.
Dari mana biayanya?
Seratus persen dibiayai oleh Jepang. Dan bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari beberapa negara dari Asia Tenggara itu juga dikirim sebagai nantoku. Jadi, nantoku bukan hanya dari Indonesia.
Kurasawa Aiko. tirto.id/Andrey Gromico
Setelah kemerdekaan, bagaimana nasib mereka yang masih belajar di Jepang ini?
Mirip yang aku tulis di buku [Sisi Gelap Perang Asia], 107 orang Indonesia ada di Jepang pada waktu itu. Nir semua mahasiswa sebab juga ada istrinya. Uniknya, ada satu orang ibu dari Jawa yang datang ke Jepang sebagai pembantu rumah tangga orang Belanda. Mereka yang berstatus mahasiswa hanya sekitar seratus kurang.
Nasib mereka itu dibagi dua. Memang sebagian besar dari mereka ingin pulang ke Indonesia. Tetapi mereka baru mengetahui bahwa perwakilan pemerintah Indonesia belum ada di Jepang. Agar mampu dipulangkan, secara administratif mereka harus mengakui diri sendiri sebaga citizen Belanda. Barulah Belanda akan menawarkan paspor Belanda.
Ada di antara mereka yang mendapatkan itu, juga ada yang menolak. Mereka yang mendapatkan bukan sebab mereka tunduk kepada Belanda, tetapi ada alasan penting yang mengharuskan mereka untuk pulang menggunakan paspor Belanda.
Mereka yang menolak nasibnya bagaimana?
Nir terlalu jelek. Waktu itu Jepang dijajah oleh tentara Amerika setelah kalah perang. Orang-orang Amerika membutuhkan orang-orang yang pintar berbahasa Inggris untuk bekerja di kantor mereka. Kebetulan mahasiswa Indonesia hampir semua pintar bahasa Inggris.
Baik mahasiswa yang dikirim saat zaman kolonial maupun pada periode perang semua mampu berbahasa Inggris. Mereka memiliki dasar pendidikan Belanda dan di sekolah Belanda biasanya bahasa Inggris itu sangat penting sehingga mereka fasih berbahasa Inggris. Jadi, mereka gampang menerima pekerjaan di kantor-kantor militer Amerika dengan gaji cukup.
Pembagian makan juga istimewa dibandingkan penduduk Jepang sendiri yang menderita kekurangan makanan pascaperang. Mahasiswa Indonesia diakui sebagai orang asing oleh tentara Amerika sehingga mereka dikasih jatah khusus sebagai orang asing. Maka dari itu nasibnya tidak terlalu jelek.
Hanya saja mereka putus komunikasi dengan orang tua, sebab Indonesia masih dijajah oleh orang Belanda. Meskipun beberapa wilayah sudah dibebaskan, tetapi tetap tidak ada komunikasi eksklusif anatara kawasan Republik Indonesia dan Jepang. Komunikasi harus selalu lewat Batavia atau kantor kolonial, sebab tentara Amerika tidak mengakui Republik Indonesia.
Apa Sukarno dan pemerintahannya menyadari kehadiran kelompok-kelompok ini?
Kelompok-kelompok mahasiswa yang telantar di Jepang pernah menulis ke Perdana Menteri Sjahrir. Kemungkinan suratnya dikirim melalui pemerintah Hindia Belanda. Dalam surat itu mereka menanyakan, “Jika kami mengakui diri sendiri sebagai citizen Belanda, apakah itu berarti kami pengkhianat negara?”
Mereka menanyakan begitu. Lalu Sjahrir menjawab, “Nir usah khawatir, kami percaya patriotisme kalian, jadi tidak usah khawatir.” Kasus lain, melalui bantuan Palang Merah Internasional mereka diizinkan mengirim telegram ke orang tua.
Pemerintahan Sukarno tidak berupaya untuk memulangkan mereka?
Nir mampu. Meskipun mau, tetapi tidak mampu. Nir ada dayanya, tidak ada caranya. Setahu aku tidak ada perjuangan.
Jepang sendiri banyak menempatkan tentara dan tenaga kerja berkebangsaan Jepang untuk melaksanakan program-program militer di Indonesia selama periode perang. Bagaimana nasib mereka saat tentara Sekutu dan Belanda berkuasa di Indonesia?
Menurut hukum internasional, bangsa Jepang di Indonesia seluruhnya harus repatriasi ke Jepang. Rata-rata tidak keberatan dan siap pulang ke Jepang. Tetapi memang ada pengecualian. Di antaranya ada yang sudah kawin dengan perempuan Indonesia dan itu cukup banyak.
Pada zaman pendudukan Jepang, perkawinan dengan bangsa Jepang dengan orang Indonesia secara resmi tidak diizinkan oleh tentara Jepang. Tetapi kenyataannya, banyak orang Jepang yang memilih berkeluarga tanpa ikatan perkawinan resmi dan kadang-kadang sudah memiliki anak. Nir ada statistik, tapi diperkirakan anak yang lahir dari orang Jepang dan perempuan Indonesia jumlahnya ribuan.
Nasib mereka kasihan sekali. Suami harus pulang, tetapi istri tidak mampu ikut sebab perkawinannya tidak resmi. Mau tidak mau mereka harus ditinggalkan. Perempuan-perempuan Indonesia yang kawin dengan orang Jepang lalu bernegosiasi dengan Sekutu yang ada di Batavia. Mereka meminta tolong kepada Sekutu agar mereka dikawinkan secara resmi dan dibawa ke Jepang.
Kebetulan komandan Sekutu yang bertugas di sini sangat humanis dan mereka berusaha mencari cara hukum untuk meresmikan perkawinan itu. Akhirnya, hanya ada 140 kasus yang berhasil dinikahkan secara resmi. Kasus perempuan yang ditinggal suaminya pulang ke Jepang jumlahnya jauh lebih banyak.
Tetapi ada kategori ke-3. Pertama, mereka yang berhasil meresmikan perkawinannya dan keduanya pulang. Kedua, kategori yang paling banyak itu istri dan anak ditinggalkan. Ketiga, suami lari dari tentara Jepang dan masuk kampung bersama istri untuk menyembunyikan diri. Mereka ini disebut desertir. Jadi, ada tiga kasus berbeda.
Apa alasan para perempuan ini lebih memilih mendatangi Sekutu ketimbang mengadu kepada pemerintah RI?
Mereka tahu mengadu ke pemerintah RI tidak akan membuahkan akibat apa-apa. Sebab secara resmi pemerintah Indonesia tidak punya relasi dengan Jepang pada tingkat negara. Jepang hanya mengakui Belanda. Global internasional hanya mau mengakui Belanda hingga tahun 1949. Jepang juga harus mengikuti peredaran itu sebab mereka kalah sehingga tidak mampu memutuskan apa-apa sendiri. Akibatnya, segala yang berafiliasi dengan tentara Jepang tidak mampu diadukan ke pemerintah RI.
Tahun 1946, Menteri Sosial Maria Ulfah diberi tugas oleh Sjahrir untuk merepatriasi orang-orang Jepang di Indonesia. Apa hal ini tidak pertanda adanya keterlibatan pemerintah RI menangani orang-orang Jepang di Indonesia?
Itu permintaan dari pihak Jepang yang disampaikan melalui Belanda. Maksud aku, tidak ada relasi eksklusif antara Jepang dan Indonesia pada waktu itu. Harus selalu melalui Belanda. Pada waktu itu ada tiga power: Sekutu, Jepang dan Indonesia. Hingga 1946 ketiganya masih ada. Sesudah tahun itu Jepang pulang.
Pada waktu itu memang ada macam-macam relasi antara ketiganya. Umpamanya di Pertempuran Surabaya pada November 1945. Memang itu pertempuran antara Indonesia dengan Sekutu, tetapi kenyataannya banyak orang Jepang membantu tentara Indonesia secara tidak formal. Caranya dengan memberi senjata kepada pihak Indonesia.
Kenapa mereka mau melakukan itu?
Pada umumnya, hampir semua orang Jepang pada waktu itu punya simpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Hal ini mungkin tidak banyak diketahui. Orang Jepang sebagai eksklusif sangat bersimpati terhadap bangsa Indonesia. Jika mereka disuruh pilih antara Belanda dan Indonesia, absolut mereka pilih Indonesia.
Orang Jepang menganggap Belanda itu musuh, tapi Indonesia itu kawan. Ya, meskipun kawan yang banyak ditindas pada zaman Jepang [tertawa]. Rata-rata bangsa Jepang secara individual bersimpati terhadap kemerdekaan.
Oleh sebab itu, meskipun melanggar perintah dari atasan, tentara Jepang diam-diam menawarkan senjata dan sebagainya. Tapi ini bukan relasi antarnegara. Pemerintah Jepang secara resmi tidak membantu Indonesia sebab mampu melanggar hukum internasional.
Adalah ada kedekatan tentara Jepang di tingkat sipil?
Ya, di bawah, grassroot. Kenyataannya ada.
Kurasawa Aiko. tirto.id/Andrey Gromico
Apa yang dilakukan pemerintah RI untuk memulangkan bangsanya sendiri, bekas tenaga kerja romusa di luar negeri?
Pemerintah Republik Indonesia tidak mampu berbuat apa-apa di wilayah Indocina, Thailand, Birma, Malaysia. Nir mampu sebab belum ada relasi diplomatik. Jadi, yang mengurus romusa di luar negeri, di negara-negara itu, hanya negara-negara Sekutu.
Sesudah mereka [Sekutu] memutuskan untuk mengirim kembali romusa ke Indonesia, pemerintah RI sudah mengadakan persiapan untuk mendapatkan mereka. Jika mereka sudah tiba di pelabuhan, mereka akan dipulangkan ke kawasan masing-masing dengan ongkos dari Republik Indonesia.
Jadi, proses pemulangan ini kembali dilakukan dengan jalan negosiasi pemerintah RI dengan Sekutu?
Betul, itu zaman Revolusi. Kenyataannya antara Sekutu atau Belanda dengan Indonesia ada banyak negosiasi, banyak diplomasi.
Apa ada kasus bekas tenaga kerja romusa yang menolak pulang ke tanah airnya?
Ada sedikit. Mereka yang sudah terlanjur menikah dengan perempuan lokal terpaksa menetap. Padahal sebenarnya kalau ingin membawa istri pulang ke tanah air tetap diizinkan kalau sudah meresmikan pernikahan. Sayangnya, hanya sedikit perempuan Birma (Myanmar) dan Thailand yang setuju ikut suami pulang ke Indonesia. Jadi, biasanya suami yang memutuskan tinggal di kawasan itu.
Sukarno pernah mengajak rakyat untuk menjadi romusa. Apa yang dilakukannya ketika mendapati banyak tenaga romusa yang kesulitan pulang?
Perihal kelakuan Sukarno terhadap persoalan itu tidak ditemukan arsipnya.
Menurut Anda, apakah penelitian perihal persoalan repatriasi dan pampasan Perang Asia Pasifik ini masih memiliki potensi untuk digali lagi?
Ya, tentu saja. Mirip yang tadi aku sebut, jika arsip pemerintah Indonesia dibuka, mungkin ada banyak hal-hal baru. Jadi, aku sangat mengharapkan peneliti-peneliti Indonesia yang belia mengkaji topik ini.
Dari mana memulainya?
Kebanyakan dari peneliti belia tidak mau mengambil topik ini sebab susah mencari dokumentasinya. Oleh sebab itu, kalau arsip Indonesia sudah dibuka, akan lebih gampang bagi peneliti Indonesia mengkaji topik ini.
Pemerintah Jepang sendiri apakah cukup terbuka menyikapi penelitian-penelitian perihal dampak-dampak pendudukan Jepang di Asia?
Interpretasinya lain, macam-macam. Di antara pembesar-pembesar pemerintahan Jepang pun ada perbedaan opini. Secara formal, pemerintah Jepang mengakui atas kesalahan Jepang yang dilakukan selama perang. Tetapi, selalu ada sekelompok orang yang tidak mau mengakui dan hingga sekarang masih ada.
Menurut interpretasi mereka, Jepang berperang untuk menolong bangsa Asia menghadapi Inggris, Belanda, dan Amerika yang ketika itu menjajah Asia. Maksud Jepang pada awalnya adalah untuk menolong atau membebaskan Asia dari belenggu Eropa dan Amerika. Ini interpretasi mereka. Sekarang, kelompok-kelompok belia yang tidak mengerti perihal apa yang sebenarnya terjadi mulai mengakui interpretasi ini.
Aku sangat senang kalau interpretasi ini benar, tapi kenyataannya tidak demikian. Aku sudah mengadakan banyak wawancara di sini [Indonesia] tahun 1980-an dengan petani-petani di desa. Mereka semua mengalami kesulitan kehidupan. Makanan kurang, tenaga kerjanya diambil sebagai romusa. Poly yang meninggal yang akan terjadi kelaparan. Poly pula terjadi kekerasan. Oleh sebab itu, aku tidak mampu mengakui tujuan dari pemerintah Jepang berperang untuk menolong bangsa Asia.
Mungkin, mirip yang tadi aku sebut, rata-rata orang Jepang bersimpati ke orang Indonesia daripada ke orang Eropa, tetapi yang lebih penting ternyata untuk menerima kekayaan alam yang diperlukan untuk mempertahankan daya produksi industri di Jepang.
Sebagian unsur pemerintah Jepang ingin melakukan pembenaran terhadap kelakuan Jepang dengan cara mengatakan bahwa alasan berperang ialah untuk menolong kemerdekaan. Itu menurut aku bohong.
Bagaimana dengan janji kemerdekaan dari Jepang?
Jika menurut aku, itu by product. Akibat yang kebetulan keluar. Bukan yang dimaksudkan. Jepang mengadakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, di sana dibahas pembuatan Undang-Undang Dasar. Memang persiapan kemerdekaan boleh dikatakan dibantu oleh Jepang, tetapi ini bukan cita-cita pertama Jepang pada waktu itu.
Jepang terpaksa sebab situasi perang sudah sangat susah. Mulai Agustus 1944, situasi Jepang sudah sangat sulit. Jepang kalah terus dan sudah tidak ada cita-cita untuk menang. Di lain pihak, di Indonesia sudah timbul banyak pemberontakan terhadap Jepang, mirip pemberontakan petani, pemberontakan Peta, pemberontakan kaum Muslim juga sudah dimulai.
Sukarno dan kolaborator Jepang yang lain sudah mulai khawatir. Kalau hal ini berlanjut, orang-orang Indonesia tidak mau berafiliasi lagi dengan Jepang dan itu celaka sekali. Untuk mencegah timbulnya kerusuhan, pembesar Jepang terpaksa mengakui dan membuat janji pada September 1944 bahwa di kemudian hari Jepang akan memerdekakan Indonesia.
Peneliti-peneliti belia ketika ini banyak yang tertarik mengkaji sejarah periode Jepang, tetapi acapkali mengeluhkan kesulitan data. Menurut Anda, apa yang harus mereka lakukan?
Ketika ini sudah ada buku aku yang baru diterbitkan akhir tahun lalu oleh Dirjen Kebudayaan berafiliasi dengan Jepang. Ini katalog berjudul Bibliografi Beranotasi Sumber Sejarah Masa Pendudukan Jepang di Indonesia yang memuat berita bahan-bahan atau arsip-arsip Jepang perihal zaman pendudukan Jepang.
Di sini, aku memberi petunjuk di mana lokasinya dan isinya kira-kira perihal apa, agar paling tidak peneliti-peneliti di Indonesia mampu mencari data-data yang mereka inginkan. Maka dari itu, sekarang jangan bilang bahannya terlalu sulit. Silakan mempergunakan ini.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau goresan pena menarik lainnya Indira Ardanareswari
(tirto.id – ina/ivn)
Reporter: Indira Ardanareswari Penulis: Indira Ardanareswari Editor: Ivan Aulia Ahsan
© 2022 tirto.id – All Rights Reserved.